

"Kita
harus melawan burung raksasa itu?" kata Mahapatih kepada Sri Baginda Raja.
Sri Baginda Raja segera mengirim ribuan prajurit pilihan untuk menghancurkan
burung raksasa itu. Bermacam senjata diarahkan ke tubuh burung raksasa itu,
namun sia-sia. Bahkan burung raksasa itu semakin membabi buta, mengamuk bagai
banteng terluka. Tak seorang prajuritpun selamat, demikian penduduk negeri.
Sawah dan ladang menjadi porak poranda. Keadaan negeri yang rukun dan damai
itu, bagaikan kalah perang.
Melihat
kerajaan yang sudah hancur luluh lantak dan tak ada lagi rumah, sawah, maupun
harta benda yang tersisa, semuanya itu membuat rakyat menjadi semakin tersiksa.
Maka dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, prajurit dan rakyat yang sempat
melarikan diri bahu membahu menyusun kekuatan dan mengumpulkan senjata apa saja
untuk melawan burung raksasa yang jahat itu. Berkat kekompakan dan kerjasama
antara prajurit dan rakyat yang mati-matian melawan burung raksasa, akhirnya
burung raksasa kelelahan dan menghentikan serangannya. Rakyat bersyukur kepada
Tuhan untuk sementara terhindar dari serangan burung raksasa.

"Nama
hamba Ular Dandaung," jawab ular raksasa dengan penuh hormat. "Hamba
ingin memperistri salah seorang putri Baginda," lanjutnya. Tentu saja
keluarga Raja terperanjat. Bahkan putri sulung dan kelima adiknya menjerit
ketakutan sambil merangkul ibundanya. Namun, Sri Baginda tenang dan berusaha
menguasai keadaan agar jangan sampai suasana menjadi kacau. Sri Baginda
berpikir sejenak sambil mengatur nafas. Beliau ingin mencari jalan keluar yang
terbaik, sebab bila beliau salah langkah, pasti jiwa mereka terancam. "Aku
tidak menolak, tetapi juga tidak menerima permintaanmu," kata Sri Baginda
setengah kebingungan. "Aku harus bertanya kepada putri-putriku,"
tambahnya. Mendengar jawaban Sri Baginda itu, mata Ular Dandaung bersinar-sinar
seperti mengharapkan kepastian dari salah seorang putri Raja.
Namun
putri-putri Raja dari yang sulung sampai putri keenam tidak mau menerima
pinangan Ular Dandaung. "Aku tidak mau kawin dengan ular yang menjijikkan
!,". "Cih !. Lebih baik aku mati, daripada kawin dengannya",
begitulah kata-kata yang keluar dari putri-putri Baginda Raja.
Akhirnya,"Aku bersedia menjadi istrinya," jawab Putri Bungsu sambil
bersimpuh di depan ayahandanya. Akhirnya, Putri Bungsu dan Ular Dandaung
diumumkan sebagai suami istri yang sah. Tentu saja banyak ejekan maupun cemooh
dari keenam kakaknya, namun ia jawab dengan senyuman manis.


Pesan Moral :
Setiap kejadian buruk yang menimpa pasti akan ada
hikmahnya. Kerelaan dan keikhlasan serta tujuan mulia Putri Bungsu menerima
Ular Dandaung menjadi suaminya menjadikan sesuatu menjadi baik kembali. Jadi,
apa yang tampak buruk pada lahirnya belum tentu buruk pada isinya.
Baca Juga :
Cerita Loro Jonggrang
Cerita Lutung Kasarung
Cerita Keong Mas
Cerita Cindelaras
Cerita Calon Arang
Cerita Telaga Bidadari
Cerita Asal Usul Kota Banyuwangi
Cerita Cincin Sakti
Cerita Manik Angkeran
Cerita Asal Usul Danau Toba
Cerita Putri Tandampalik dari Sulawesi
Cerita Rakyat Karang Bolong
Cerita Tanjung Menangis di Pulau Hamahera
Cerita Asal Mula Bukit Catu di Pulau Bali
Cerita Lutung Kasarung
Cerita Keong Mas
Cerita Cindelaras
Cerita Calon Arang
Cerita Telaga Bidadari
Cerita Asal Usul Kota Banyuwangi
Cerita Cincin Sakti
Cerita Manik Angkeran
Cerita Asal Usul Danau Toba
Cerita Putri Tandampalik dari Sulawesi
Cerita Rakyat Karang Bolong
Cerita Tanjung Menangis di Pulau Hamahera
Cerita Asal Mula Bukit Catu di Pulau Bali
Sumber
: http://www.elexmedia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar