Setelah mempersiapkan beberapa dokumen dan peralatan, Rio melakukan perjalanan waktu kembali ke tahun 1945, tepat sebelum pecahnya pertempuran di Surabaya. Dia mendarat di sebuah rumah sederhana di tengah kota, tempat berkumpulnya para pemuda Surabaya yang tergabung dalam laskar perjuangan. Di sana, ia menyaksikan suasana penuh ketegangan namun bersemangat: pemuda-pemuda dengan ikat kepala merah-putih tengah mempersiapkan senjata seadanya, sementara yang lain sibuk membuat strategi untuk menghadang Sekutu.
Sambil menyusuri kota, Rio bertemu dengan seorang pemuda bernama Sastro. Sastro memperkenalkan Rio kepada pimpinan laskar, Bung Suyoto, yang dikenal sebagai orang yang kharismatik dan dihormati oleh para arek Surabaya. Suyoto menyadari bahwa kedatangan Sekutu, yang membawa misi tersembunyi untuk mengembalikan Belanda ke tampuk kekuasaan, adalah ancaman besar bagi kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan tiga bulan lalu. Bersama dengan rekan-rekan laskar, mereka sudah sepakat untuk mempertahankan Surabaya dengan segala daya dan upaya.
“Bung Rio,” kata Suyoto sambil menatap lurus, “Kami tahu kami mungkin tak akan menang. Tapi tanah ini adalah milik kami, kemerdekaan ini adalah hak kami. Kami tidak akan diam.”
Mendengar tekad mereka, Rio tergerak untuk menggalang informasi yang dapat mereka gunakan untuk mempersiapkan pertahanan lebih baik. Ia mengumpulkan berbagai pesan sandi yang disebarkan Sekutu melalui radio-radio tersembunyi, mengingat betul kode-kode militer yang dipakai. Di sisi lain, ia juga berusaha mencari lebih banyak tentang peran yang dimainkan oleh Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby, yang dikenal sebagai tokoh utama pasukan Inggris yang berusaha mengendalikan situasi di Surabaya.
Dalam penyelidikan yang penuh bahaya ini, Rio mendengar kabar bahwa Jenderal Mallaby akan bertemu dengan beberapa tokoh lokal untuk berunding, namun ada desas-desus bahwa ini hanyalah siasat untuk melemahkan kekuatan laskar dan menangkap pemimpin mereka. Melalui informasi ini, Rio mendapati bahwa Mallaby sebenarnya tidak sepenuhnya setuju dengan aksi penyerangan besar-besaran yang direncanakan Sekutu. Ia bahkan terlihat enggan ketika diinstruksikan untuk memaksa pemuda-pemuda Surabaya menyerah tanpa syarat.
Pada suatu malam, 29 Oktober 1945, Mallaby akhirnya benar-benar bertemu dengan beberapa perwakilan pemuda. Rio berhasil menyelinap masuk dan menyaksikan langsung diskusi mereka. Dalam pertemuan tersebut, Mallaby berbicara dengan nada yang cukup diplomatis, namun tetap tegas bahwa ia memegang mandat untuk mengambil alih kota. Namun, situasi berubah ketika sebuah baku tembak tak terduga terjadi di luar gedung. Mallaby terkena tembakan saat berusaha mengendalikan keadaan. Situasi semakin tak terkendali, dan kematiannya di malam itu menjadi pemicu serangan besar-besaran oleh pasukan Sekutu.
Setelah kejadian itu, arek-arek Surabaya semakin berang. Mereka merasa kematian Mallaby digunakan sebagai alasan oleh Sekutu untuk melancarkan serangan. Keesokan harinya, tepat 10 November 1945, pertempuran terbesar pun meledak. Ribuan arek-arek Surabaya bertarung habis-habisan, mempertaruhkan hidup mereka demi mempertahankan kemerdekaan. Meskipun banyak yang gugur, semangat perjuangan mereka tak pernah padam.
Setelah melalui hari-hari penuh perjuangan dan mengumpulkan bukti langsung di lapangan, Rio kembali ke masa kini membawa pemahaman baru tentang peristiwa heroik ini. Ia menyadari bahwa Pertempuran Surabaya bukan sekadar peristiwa berdarah dalam sejarah Indonesia, tetapi juga simbol keteguhan bangsa dalam mempertahankan hak dan martabatnya di hadapan kekuatan asing.
Saat ia menyerahkan laporan lengkap kepada Indra, sang sejarawan muda itu tampak terharu. "Bung Rio, sekarang aku tahu kenapa arek-arek Surabaya begitu gigih mempertahankan kota ini. Mereka tahu, kemerdekaan itu memang mahal harganya."
Rio mengangguk dengan tenang. Baginya, tugas mengungkap kebenaran sejarah bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah penghormatan bagi mereka yang telah gugur di jalan perjuangan.
Dalam misi penelusuran ini, Detektif Rio menyadari ada satu tokoh yang punya peran penting dan tak tergantikan dalam mengobarkan semangat perlawanan arek-arek Surabaya. Di setiap sudut kota, dari pos-pos laskar hingga radio-radio perjuangan, nama Bung Tomo bergema. Sosok Bung Tomo, atau Sutomo, adalah yang mampu menyatukan ribuan pemuda dan pejuang dalam satu suara kemerdekaan yang tak bisa ditawar.

