Search

Kamis, 13 November 2025

Detektif Rio: Lorong Waktu ke 10 November 1945

 

Di ruang kerjanya yang remang di Jakarta, Detektif Rio sedang meneliti artefak kuno peninggalan masa perang dunia. Di atas mejanya tergeletak jam saku tua berlogo garuda yang baru saja ia temukan di sebuah gudang berdebu di Surabaya. Tak ada yang tahu siapa pemilik jam itu — tetapi di dalamnya terdapat ukiran halus bertuliskan:

“10 November 1945 – Surabaya, Jangan Pernah Menyerah.”

Ketika Rio membuka penutup belakang jam itu, jarum jam berputar cepat, menciptakan pusaran cahaya biru yang menyedot seluruh ruangan. Rio tak sempat menutup matanya — dalam sekejap, ia terseret masuk ke lorong waktu.


Bab 1 — Tiba di Kota Api

Rio terbangun di tengah hiruk-pikuk kota yang bergemuruh. Asap membumbung dari berbagai arah, dentuman meriam dan ledakan terdengar bersahutan. Ia menatap sekeliling: Surabaya, 10 November 1945.

Jalan-jalan dipenuhi para pemuda bersarung, membawa bambu runcing, sebagian bersenjatakan senapan hasil rampasan. Di dinding-dinding rumah tertulis slogan dengan cat merah:

“Merdeka atau Mati!”
“Pertahankan Surabaya sampai tetes darah terakhir!”

Seorang pemuda dengan sorban putih menepuk bahunya, “Ayo, Bung! Jangan diam saja! Inggris menyerang dari arah pelabuhan!”

Rio terpaku — ia menyadari dirinya telah benar-benar melintasi waktu. “Aku… di masa perang kemerdekaan,” gumamnya.


Bab 2 — Resolusi Jihad dan Semangat Rakyat

Malam itu, Rio bersembunyi di masjid tua di kawasan Ampel. Dari balik jendela, ia melihat para ulama dan pejuang sedang berkumpul. Ia mengenali salah satu dari mereka dari buku sejarah — KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Seorang santri muda membacakan teks dengan suara lantang:

Berperang melawan penjajah yang ingin kembali menguasai tanah air adalah fardhu ain bagi setiap Muslim yang mampu!

Itulah Resolusi Jihad, seruan suci yang menggema di seluruh Surabaya. Rio merinding mendengarnya — kini ia menyaksikan langsung bagaimana semangat jihad dan cinta tanah air membakar jiwa para pemuda.


Bab 3 — Pertempuran di Jembatan Merah

Keesokan paginya, ledakan besar mengguncang kota. Pasukan Sekutu melancarkan serangan dari arah utara. Pesawat tempur melintas di langit, menjatuhkan bom ke pemukiman warga.

Rio berlari ke arah Jembatan Merah, tempat pertempuran paling sengit terjadi. Ia melihat Mayjen Sungkono memberi aba-aba, dan para pejuang rakyat berlari tanpa takut ke medan perang.

Di tengah hiruk-pikuk itu, terdengar suara menggelegar dari radio lapangan:

“Saudara-saudara! Kita semua telah tahu bahwa hari ini Inggris telah menyerang… Tetapi yakinlah, selama di dada kita masih ada api kemerdekaan, tidak satu pun penjajah akan menginjak-injak tanah ini lagi!”

Suara itu adalah Bung Tomo — dengan pidato yang menggetarkan langit Surabaya.

Rio melihat sendiri bagaimana pidato itu membuat para pemuda yang ketakutan berubah menjadi singa-singa perlawanan.

“Begitu besar semangat mereka…” gumam Rio. “Inilah makna sejati kata Pahlawan.”


Bab 4 — Gubernur Suryo dan Tanda Penghormatan

Menjelang malam, Rio dibawa oleh seorang perwira muda bernama Mohammad Jasin ke markas darurat. Di sana ia bertemu Gubernur Suryo, pemimpin Jawa Timur saat itu.
Dengan tenang, sang gubernur menulis pesan kepada pemerintah pusat di Yogyakarta.

“Surabaya akan bertahan. Walaupun kami mungkin gugur, semangat perjuangan rakyat tidak akan padam.”

Rio berdiri kaku menyaksikan — ia tahu betul bahwa surat itu kelak menjadi salah satu simbol keteguhan rakyat Surabaya.

Sebelum ia pergi, Gubernur Suryo menatap Rio seolah mengenalnya. “Anak muda, bila suatu hari bangsa ini bebas, ingatlah… kemerdekaan tidak datang dari pena, tapi dari darah dan air mata.”

Rio hanya bisa mengangguk. Ia ingin menjawab, tapi waktu mulai bergetar lagi — tanda lorong waktu akan tertutup.


Bab 5 — Kembali ke Masa Kini

Cahaya biru kembali muncul dari jam saku itu. Dalam hitungan detik, Rio sudah kembali ke ruang kantornya di Jakarta. Asap rokok masih mengepul — seolah tak ada waktu yang berlalu.

Namun kali ini, jam saku itu sudah berhenti berdetak. Di dalam tutupnya kini muncul ukiran baru:

“Untukmu yang melihat dengan mata sejarah, jangan lupa dengan darah perjuangan.”

Rio menatap keluar jendela. Di kejauhan, Monumen Tugu Pahlawan berdiri gagah di tengah kota Surabaya. Ia tersenyum pelan.

“Sekarang aku tahu mengapa 10 November disebut Hari Pahlawan. Karena di hari itulah, manusia biasa berubah menjadi legenda.”


Epilog

Sejak hari itu, Detektif Rio selalu membawa jam saku itu ke mana pun ia pergi — bukan lagi sebagai artefak, melainkan pengingat bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan.

“Waktu boleh berganti, tapi semangat 10 November tak akan pernah mati.”


By. RSW


Tidak ada komentar:

Posting Komentar