Kami Sekeluarga Melihat Candi Jawi dengan mengendari Sepeda Motor.
Candi Jawi (nama asli: Jajawa) adalah candi yang
dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha
Kerajaan Singhasari yang terletak di terletak di kaki Gunung Welirang, tepatnya
di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia, sekitar
31 kilometer dari kota Pasuruan. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya
antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak
dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya
merupakan tempat Pedharmaan atau Penyimpanan abu dari Raja terakhir Singhasari,
Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari.
Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat
peribadatan Raja Kertanegara.
Latar Belakang
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa
Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari,
Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Siwa-Buddha. Raja
Kartanegara adalah seorang penganut ajaran sinkretisme Siwa-Buddha. Alasan
Kertanegara membangun Candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di
kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu
sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga
memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya,
menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama
mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.
Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan
basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa
saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera
dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia
sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Struktur Dan Kegunaan Bangunan
Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas,
sekitar 40 x 60 meter persegi, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2
meter. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga
teratai. Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Ketinggian candi ini
sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m.[1] Bentuknya tinggi
ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya
merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya.
Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan
untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina
(upacara penghormatan terhadap dewa, disebut Dewayadnya atau dewayajña), karena
biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang
dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru
membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan
bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap
ke gunung karena pengaruh dari ajaran Buddha.
Berdasarkan Arkeologi
Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di
dindingnya. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena
pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung,
seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas
menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut.
Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas. Salah
satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan
candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Nampak
Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara
sebanyak tiga buah, namun sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat
ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan juga di fragmen tersebut terlihat
jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak
sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, namun bentuknya
lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun
dari batu bata merah.
Disamping relief yang terletak dibagian dinding
candi, terdapat pula relief lain yang terletak dibagian dalam candi. Terletak
tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam
candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang
dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri
dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Sehingga timbul dugaan bahwa
bisa jadi candi ini dibangun dalam dua periode yang berbeda teknik bangunan.
Sejarah Candi menurut Negarakertagama
Nagarakretagama menyebut candi ini dengan nama
Jajawa yang dikunjungi Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk sekitar tahun 1359
Masehi. Sang Raja singgah di candi ini untuk memberikan penghormatan dan
persembahan untuk memuliakan kakek buyutnya Prabu Kertanegara. Negarakertagama
menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di atasnya arca Siwa
terdapat arca Maha Aksobhya yang kini telah hilang. Ada sejumlah arca bersifat
Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.
Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa pada
saat candrasengkala atau pada tahun Api Memanah Hari (1253 Saka) candi itu
disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib. Dikisahkan Raja Majapahit
Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu kemudian bersedih atas hilangnya
arca tersebut. Walaupun telah ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan
di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur,
yang kemudian dikenal dengan Patung Joko Dolog, arca ini bukan berasal dari
Candi Jawi.
Ditulis bahwa setahun setelah Candi Jawi disambar
petir, telah dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan
penggunaan batu putih. Namun, asal batu putih tersebut masih dipertanyakan,
karena kawasan yang termasuk kaki Gunung Welirang kebanyakan berbatu hitam, dan
batu putih hanya sering dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.
by: Clarissa P.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar